Cari Blog Ini

Rabu, 20 April 2011

Norman, Slamet dan Media Massa (Harian Joglosemar, 19 April 2011) oleh Anhar Widodo

Norman, Slamet & Media Massa

Briptu Norman Kamaru, anggota Brimob Polda Gorontalo tengah menjadi bintang sekaligus magnet. Namanya mulai menjadi isu media nasional saat video berjudul Polisi Gorontalo Menggila muncul di situs berbagai video, Youtube beberapa waktu lalu. Video berdurasi 6 menit 30 detik itu memperlihatkan Norman yang menirukan gerakan penyanyi India, Shakh Rukh Khan, dengan iringan lagu Chaiyya-Chaiyya. Sampai gagasan ini ditulis, video tersebut telah ditonton lebih dari 1,5 juta orang. Dan sepertinya, isu media yang (sementara) bisa mengalahkan kekuatan Norman adalah kasus anggota DPR yang tertangkap kamera tengah menonton video mesum dalam sidang paripurna DPR beberapa hari lalu. Kasus ini pun sepertinya akan segera ditutup dan (seperti biasa) media akan kembali kepada Norman yang secara ekonomis memiliki rating tinggi untuk dikomodifikasi.

Norman, dengan bantuan media telah menjadi idola baru. Dia menjadi bintang di hampir semua acara televisi, dan sepertinya Polri merelakan itu sebagai bagian dari upaya membentuk citra polisi agar tampak humanis dan dekat dengan masyarakat. Apakah benar Norman sehebat yang dicitrakan media dan layak menjadi duta Polri untuk membangun citra yang diperlukan? Persoalan ini tidak perlu diperdebatkan, karena apapun yang dihadirkan media, selalu penuh dengan realitas berlebihan.

Mengikuti apresiasi media pada kreativitas Briptu Norman Kamaru yang kemudian menyedot perhatian banyak pihak, menjadi ironi jika kemudian kita menengok Slamet Jauhari dan kawan-kawan yang sedang berjuang melepaskan diri dari tawanan perompak di laut Somalia. Jauh sebelum Norman Kamaru menjadi bintang (video diunggah pada 29 Maret 2011), pada 16 Maret 2011 kapal Sinar Kudus di bawah kendali Kapten Slamet Jauhari dibajak perompak Somalia. Di antara ABK, 20 merupakan WNI. Mendengarkan keterangan langsung dari kapten kapal dalam sebuah program dialog disatu televisi swasta, Senin (11/4) malam, kita disadarkan bahwa harga diri bangsa sedang menjadi taruhan dalam upaya menyelamatkan warga bangsa yang sedang mendapatkan musibah di luar negeri.

Pemimpin Sebenarnya

Mengikuti keterangan dari Kapten Slamet Jauhari tentang kondisi dan situasi yang berkembang di tempat penahanan, juga bagaimana upaya menjaga agar anak buah tetap dalam kondisi “baik-baik saja”, menjelaskan kepada kita bagaimana seorang pemimpin harus bersikap dalam kondisi yang paling kritis sekalipun. Dengan bahasa yang jelas dan sangat lugas, Slamet Jauhari menegaskan tidak mungkin melakukan diplomasi politik dengan para perompak. Kemungkinan yang dapat dilakukan pemerintah kita adalah membebaskan sandera dengan “perang” atau membayar tebusan sesuai permintaan para perompak.

Dalam situasi demikian, rapat, dialog, diskusi dan proyek pencitraan politik dalam berbagai bentuknya tidak lagi diperlukan. Karena yang dibutuhkan mereka yang disandera selama sebulan ini adalah kepastian dari negara untuk memberikan jaminan perlindungan keamanan dan keselamatan. Untuk urusan menyelamatkan warga negara ini, para elite politik mestinya tidak lagi terjebak pada wacana, jauh lebih penting adalah tindakan nyata yang mencerminkan sikap kepemimpinan sebenarnya.

Berita terakhir menyebutkan pasukan TNI yang dikirim melakukan operasi militer pembebasan ABK dan Kapal MV Sinar Kudus tidak jadi menjalankan operasinya, karena “ternyata” kapal tidak lagi berada di tengah laut dan masuk wilayah kekuasan para perompak. Katanya, jika operasi tetap dipaksakan, maka risikonya terlalu besar, demikian media-media memberitakan hal tersebut Jumat (15/4). Maka kemungkinan opsi yang dipilih adalah negosiasi harga (nilai) tebusan yang diminta para perompak. Tentu kita tidak berharap saat proses negosiasi berjalan, kondisi yang terjadi pada ABK Kapal MV Sinar Kudus, sudah jauh dari apa yang kita bayangkan.

Perlakuan Media

Media sepertinya memilih perlakuan yang berbeda pada kasus Briptu Norman Kamaru dan penyanderaan Kapal MV Sinar Kudus. Pada kasus pertama, media memberikan ruang seluas-luasnya, alih-alih berlebihan kepada Briptu Norman Kamaru sebagai bintang dan idola baru masyarakat. Konsumen media sepertinya “dipaksa” mengikuti setiap jengkal langkah polisi muda itu. Infotainment, utamanya telah memosisikan Norman Kamaru sebagai selebritis baru yang wajib ditonton semua pemirsa televisi. Sekarang bukan lagi soal kelihaian sang polisi dalam bernyanyi lagu India, namun dibahas pula soal masa depannya di dunia tarik suara, soal rencana rekaman dan pembuatan video klip, soal beasiswa dan hadiah sepeda motornya, soal apresiasi dan dukungan dari Polri, soal hubungan dengan kekasihnya yang sudah berjalan sekian tahun, soal niatnya untuk menghajikan orangtuanya dan sebagainya.

Pada kasus kedua, sebagian besar media massa bahkan tidak mengambil peran apapun. Saat segelintir media membuat gerakan mendorong pemerintah segera bersikap dan bertindak menyelamatkan warga negaranya yang menjadi sandera di luar negeri, media yang lain masih tetap sibuk membangun dan mencitrakan Norman Kamaru sebagai ikon baru dunia hiburan Indonesia, sekaligus citra baru kepolisian yang lebih humanis dan nyeni.

Kapten Slamet Jauhari dan 20 ABK Kapal Sinar Kudus, selama satu bulan terakhir ini sedang bertaruh nyawa, dengan segala keterbatasan sedang menegosiasikan posisi tawar kepada para perompak Somalia, sambil terus berharap pemerintah segera bertindak. Media, semestinya mengambil sikap jelas untuk terus mendorong pemerintah bersikap dan bertindak benar dengan lebih cepat. Harapannya sama seperti banyak pihak yang mencoba mengambil keuntungan dengan hadirnya Briptu Norman Kamaru dalam industri budaya dan media kita.

Media memang tempat bagi banyak kepentingan untuk bertarung dan memperebutkan pengaruh. Lebih dari itu, media juga menjadi ajang berbagai pihak untuk memantapkan posisi dan kekuasaannya baik secara politik maupun ekonomi. Akan tetapi, di atas semuanya, media massa kita mestinya menempatkan kepentingan negara dan bangsa lebih dari semuanya. Kembali kita harus mengingat bahwa di masa lalu media massa adalah alat perjuangan bangsa untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Kemudian pers mengambil peran sebagai pilar keempat demokrasi yang bertugas mengawal proses berbangsa dan bernegara sebagai anjing pengawas (watch dog). Intinya mengorbitkan Norman Kamaru menjadi bintang adalah sah, akan tetapi menjadi “bagian dari tim penyelamat” warga kita yang disandera perompak Somalia adalah wajib adanya.

menurut saya memang benar adanya, media terlalu hiperbol dalam penyampaiannya. padahal media (dala hal ini televisi) merupakan "pelaku utamanya", ya sebagian besar waktu dihabiskan didepan layar tv, harusnya tv dan masyarakat lebih pintar mengambil sikap bukan untuk kepentingan segelintir dan harusnya bisa memilahkan mana yang "utama' demi kebaikan dan kemaslahatan bersama.

3 komentar:

  1. untunge tetep masih slamet dan sekarang sudah bisa dibebaskan.........

    BalasHapus
  2. ya dengan tempo waktu yang begitu lama, namun yang mrnjadi masalah tindakan dan langkah-langkah yang diambil saya rasa terlalu berbelit, sedang pada kasus si Briptu saya rasa terlalu berlebihan......

    BalasHapus