Cari Blog Ini

Kamis, 17 Maret 2011

Tari Driasmara

Komponen Non Verbal

1. Tema Tari Driasmara

Tari driasmara merupakan salah satu bentuk tari pasangan yang ditarikan oleh seorang penari putra dan putri, tari driasmara bertemakan langen asmara atau percintaan antara Panji Asmara Bangun dengan Dewi Sekartaji. Tari ini disusun oleh Sunarno Purwolelono pada tahun 1976. Tahun1980 tari ini disusun kembali oleh Wahyu Santosa Prabowo, Nora Kustantina Dewi dibantu oleh Rusini untuk penataran Pamong Kesenian se-Jawa Tengah di PKJT Sasono Mulyo Baluwarti Surakarta. Adegan/tarian untuk Prabu Kelana digarap oleh Sunarno Purwolelana, adegan/tarian panji (alusan) digarap oleh Wahyu Santoso Prabowo, dan untuk adegan Candra Kirana digarap oleh Sunanro Purwolelana. Untuk gendhing pengiringnya digarap oleh Martopangrawit, dan pada perekaman digubah oleh Rahayu Supanggah.

Berangkat dari drama tari yang berjudul Panji Asmara, mengambil cerita panji dengan tokoh Prabu Kelana, Candra Kirana, dan Panji Asmara Bangun, berproses di Sasana Mulyo, adapun penarinya adalah Sunarno Purwolelono sebagai Prabu Kelana, Wahyu Santoso Prabowo sebagai Panji Asmara Bangun dan Utami Retno Asih sebagai Candra Kirananya. Drama tari tersebut dipentaskan di acara pernikahan Sal Mugiyanto. Dari drama tari tersebut dipethil/ diambil adegan Candra Kirana dan Panji Asmara Bangun (adegan pasihan/percintaan antara Candra Kirana dan Panji Asmara), dari adegan tersebut jadilah tari pasihan. Setelah tersusun menjadi tari pasihan tokoh Panji dan Candra Kirana dihilangkan (tidak harus menceritakan Panji Asmara Bangun dan Candra Kirana).

Driasmara berasal dari kata driya yang bearti hati dan asmara yang berarti asmara, driasmara dimaksudkan hati yang sedang dilanda asmara. Rasa yang muncul/ terkandung dari tari Driasmara yaitu romantis, penuh kasih, saling mengasihi satu sama lain, cinta kasih. Tari driasmara menggambarkan sepasang kekasih yang sedang memadu cinta, melambangkan suatu hubungan percintaan antara dua orang yang berlawanan jenis. Pada dasarnya tari ini menggambarakan bermacam-macam perasaan manusia yang terlibat dalam suatu percintaan. Sebagai contoh perasaan sayang, kangen selalu ingin bertemu dan bersama dengan kekasihnya serta tidak ingin membaginya dengan orang lain. Rasa kangen dan penggambaraan kerinduan yang mendalam pada tokoh wanita dirasakan pada gendhing kinanthi sandhung. Rasa damai dan tenteram dirasakan pada gendhing sekar macapat mijjil. Kebar memunculkan rasa senang dan mesra yang menggambarkan sepasang kekasih yang bercinta.

2. Gendhing pengiring tari Driasmara

Laras pelog sebagai laras yang dipilih untuk gendhing pengiring tari Driasmara, karena pada dasarnya laras pelog memunculkan rasa, suasana menjadi lebih berasa romantis.

- Ketawang wigena laras pelog pathet nem

è Wigena dapat diartikan, rasa yang muncul saat pertama kali ketemu, ada chemistery, merasakan jatuh cinta.

Ketawang wigena dahulu merupakan garapan dari Bambang Suryo Darmoko, gendhing tersebut di gunakan untuk mengiringi drama tari Ramayana, adegan Dewi Kekayi yang merupakan istri muda Prabu Dasarata menagih janji, dahulu Dasarata berjanji bahwa yang akan menggantikan tahtanya adalah anak yang lahir dari rahim Dewi Kekayi, namun kenyataannya tidak demikian, Dewi Kekayi menggigatkan kepada Prabu Dasarta akan janjinya kala itu.

Buka:

. . . 2 2 1 6 5 1 6 1 2 . 1 6 5

1 2 1 6 2 1 6 3 1216 2 1 6 5

Ngelik :

3 5 3 57 62 4 2 1 5 6 1 . 3 2 6 5

3 5 3 5 3 5 6 1 3 2 6 5 3 5 2 3

1 1 . 6 5 6 7 6 5 4 2 4 2 1 6 5

- Kemuda kembang kapas laras pelog pathet nem

è Kemuda: masa muda, remaja. Kemudu kudu: menanti, dengan penuh harap, seseorag yang selalu dikhayalkannya untuk segera datang. Dapat diartikan sebagai seorang remaja yang mempunyai rasa suka, mulai tertarik pada lawan jenisnya. Melamun, berkhayal, membayangkan hal-hal yang indah-indah, selalu mengharap pujaan hatinya datanng dan berada disisinya.

Kembang kapas / bunga kapas: pohon kapas ketika berbunga, bunganya berwarna putih. Dapat diartikan sebagai sebuah pengharapan, bahwa dari rasa yang timbul diharapkan akan terjalin sebuah cinta yang suci (warna putih identik dengan makna suci), dan tulus.

II 1 5 1 5 2 4 5 4 2 4 2 1 5 1 5 1

5 4 2 1 4 2 1 4 1 2 4 5

- Mijil sekar macapat laras pelog pathet nem

è Penari putra datang, impian remaja putri (dalam gendhing kemuda kembang kapas) terwujud.

- Ketawang kinanthi sandung laras pelog pathet nem

è Rasanya (rasa antara penari putra dan penari putri) bersatu, saling jatuh hati, dua hati telah berpadu, ada keinginan untuk bersanding dan berharap tak ada halangan/kesandung suatu hal tertentu, berjalan mulus, bahagia hingga akhir hayat.

Buka : celuk . . . 6 1 2 6 5 2 3 5 3

. . 3 5 6 5 3 5 2 4 5 4 2 1 6 5

2 2 . 3 1 2 3 2 6 1 2 3 6 5 3 2

- Ktw. driasmara laras pelog pathet nem.

è Mengunakan garap kendang loro (2), menimbulkan/memunculkan rasa sareh, rasa tenang, garapnya agak halus.

Lik:

6 6 . . 6 6 5 6 2 3 2 1 6 5 2 3

. . 3 5 6 1 2 1 3 2 1 2 . 1 2 6

2 3 2 1 6 5 3 2 6 1 2 3 6 5 3 2

Umpak:

è Menggunakan garap kendang ciblon, berkarakter riang, hanya ada suka.

5 6 5 3 6 5 3 2 5 6 5 3 6 5 3 2

6 6 . . 6 6 5 6 2 3 2 1 6 5 2 3

. . 3 5 6 1 2 1 3 2 1 2 . 1 2 6

2 3 2 1 6 5 3 2 6 1 2 3 6 5 3 2

Ketawang Wigena, lrs. Pelog pathet nem

Pundhen ulun dhuh sinuwun

punapa punapada tan ngemuti

marang prasetya paduka

ngebun-ebun enjang

sendhang geng ing pawukiran

leganana raos mami

Jangkring gunung wong angkrangkung

kadita nyawang sireki

kekuncung kang kabeh ana

merak ati

burong toya baya sira

welas asih marang dasih

Artinya:

junjunganku oh sang raja/prabu

apakah paduka tidak ingat

akan janji yang paduka ucapkan

aku sangat mengharapkan

sendang besar di gunung/ telaga

mengharap bahwa paduka sang raja membuat hatiku lega/ menepati janji

jangkirk gunung=gangsir/ jangkrik yangg ada dipegunungan, orang yang tinggi semampai

sireki=kamu, aku tidak bosan-bosannya memandangmu selalu ingin memandangmu

bintang yang berjambul yang berada dihutan/ merak

sebagai wanita yang penampilanya membuat hati tertarik/menarik hati

burong toya=bintang yang ada diair, baya sira=apakah engkau

akan memberikan kasih sayang padaku

Sekar macapat mijil lrs.pl.pt.nem

Dhuh mas mirah

adiku wong kuning

cahyane mancorong

gandhes luwes kewes wicarane

dhuh kakang paduka

kawula sayekti bekti marang kakung

Artinya:

mas mirah=perhiasan, ungkapan laki-laki pada wanita yang bermaksud memuji

kekasihku yang cantik

cahayamu memancarakan sinar

penampilan dan gaya bicara menarik hati

kakanda engkau adalah junjunganku

aku sesungguhnya berbakti kepadamu kakanda

Ketawang Kinanthi sandhung.lrs.pl.pt.nem

Nimas ayu puja ningsun

Mustikaning wong sabumi

sun emban sun lela-lela

tambanana brangta mami

kakang mas prasetya hamba

yen wurung sun nedya lalis

Artinya:

oh dindaku yg cantik engkau adalah pujaan hatiku

permata, mutiara=sungguh engkau merupakan permata yang ada di dunia/ bermaksud memuji, hanya engkau permata yang ada di dunia

kau akan selalu kumanja,kupeluk

obatilah perasaan cintaku kepadamu,obatilah keriunduan rasa cintaku padamu

oh kakanda, aku akan selau berjanji kepadamu

kalau aku tidak selalu bersamamu/ tidak jadi kekasihmu lebih baik aku mati

Ketawang Driasmara .lrs pl.pt.nem

Yen sira dadia kupu, wong ayu

Ingsun kang arsa ngencupi, dhuh yayi

Yen sira dadiya iwak, wong cakrak

Ingsun kang amancing, wong kuning

Yen sira dadiya toya mas rara

ingsun kang bakal nyidhuki

Yen sira dadiya prahu, wong prabu

Ingsun kang bakal melahi, wong peni

Yen sira dadiya dluwang, wong dregang

Ingsun kang bakal anulis, wong manis

Yen sira dadiya beras, wong canthas

Ingsun kang bakal mususi

Artinya:

seandainya engkau jadi kupu-kupu, orang cantik/ gandisku yang cantik

aku yang akan menangkapmu, adindaku

jika engkau menjadi ikan, orang bergas, macho, keren, penampilan menarik

aku yang akan mengailmu, orang cantik

jika engkau menjadi air, oh cantikku/oh gadisku

aku yang akan menggayungmu (mengambil air dengan gayung)

jika engkau menjadi kapal, yang berwibawa/ kharismatik

aku yang akan mendayungmu, orang yang indah/ menarik/ cantik

jika engkau menjadi kertas, orang yang semampai/ cantik

aku yang akan menulisinya, orang manis/dindaku yang manis

jika engkau menjadi beras, dindaku yang lincah

aku yang akan mencuci beras itu

Umpak

Le lalela

Linali saya kadriya

driasmara marang risang kadi ratih

Ratih ratu ratuning wong cakra kembang

kembang jaya kusuma, asih mring kula

Artinya:

Dimanja

ketika kan kulupakan justru semakin nampak dihati

hati yg dilanda asmara kepada gadis yang bagaikan dewi ratih

dewi ratih yang merupakan ratu dikhayangan cokro kembang

bunga wijaya kusuma, bunga yang selalu memberi kehidupan, selalu menyanyangi diriku

move on....

Dalam sebuah realita kehidupan pastinya tak lepas dari yang namanya masalah. Ya itu suatu garis yang pasti dialami tiap manusia, dari masalah tersebut kita akhirnya dapat mempelajari dan mengerti apa arti hidup sejatinya, hidup lo gak ada masalah pastinya monoton dong.

Dari masalah-masalah tersebut kita bisa ambil hikmah, dari masalah itu pulalah menjadi sebuah pendewasaan diri. Dari masalah pula kita bisa bersyukur dan dapat lebih dekatkan diri pada sang pencipta *bukan berarti lo gak ada masalah gak dekat ma Tuhan guys.

Apapun yang terjadi pasti ada hikmah dibalik itu semua, semua yang kita alami dan akan terjadi nantinya sudah digariskan, hidup itu dah ada yang atur kok, dan pasti Tuhan kan berikan, gariskan segalanya yang terbaik untuk kita. Ya memang kadang yang terbaik dari Tuhan kadang kita anggap itu bukan yang terbaik buat kita, but yakinlah bahwasannya TuhanMaha tahu, dan Maha pengasih, Maha penyayang.

So, jalani hidup ini dengan apa adanya, mengalir aja, jangan lupa selalu berusaha dan berdo’a. tetaplah melangkah

Rabu, 16 Maret 2011

Budaya Tradisi Kita dalam Era Globalisasai (Tradisi menjawab Globalissai)

Globalisasi mengacu pada keseberagaman hubungan dan keterkaitan antara negara dan masyarakat yang membentuk sistem dunia modern. Globalisasi adalah proses di mana berbagai peristiwa, keputusan, dan kegiatan di belahan dunia yang satu dapat membawa konsekuensi penting bagi berbagai individu dan masyarakat di belahan dunia yang lain (A.G. McGrew,1992), menurut Martin Wolf dalam bukunya Globalisasi: Jalan Menuju Kesejahteraan, globalisasi adalah kata yang mengerikan dengan makna yang kabur, memperkaya semua yang tersentuhnya. Dalam kondisi tertentu bukan tidak mungkin globalisasi dapat “bersifat” demikian, tanpa adanya pengelolaan globalisasi, maka bukan tidak mungkin peradaban kita akan tergulung oleh gerak globalisasi tersebut.

Globalisasi bersifat multidimensional. Globalisasi sering digambarkan sebagai sebuah gejala ekonomi, terutama dengan munculnya begitu banyak perusahaan multinasional dan transnasional yang beroperasi melintasi batas-batas negara, mempengaruhi proses produksi global, dan penyebaran (distribusi) tenaga kerja internasional. Meskipun kekuatan ekonomi (economic forces) merupakan bagian yang integral dari globalisasi adalah keliru kalau kita beranggapan bahwa globalisasi itu selalu merupakan gejala ekonomis. Globalisasi bersama-sama mempengaruhi dan dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu politik, ekonomi, sosial dan budaya. Semua unsur itu digerakkan oleh perkembangan informasi dan teknologi komunikasi yang telah meningkatkan kecepatan dan lingkup interaksi antarmanusia di seluruh penjuru dunia.

Dampak kultural globalisasi mendapat banyak perhatian para ahli. Citra (image), gagasan, dan gaya hidup yang baru, dengan cepat menyebar ke seluruh produk dunia lebih dari sebelumnya. Perdagangan, teknologi informasi baru, dan imigrasi global telah memeberi kontribusi bagi penyebaran budaya pop tersebut melintasi batas negara.

Banyak orang percaya bahwa kita sekarang hidup dalam suatu tatanan informasi tunggal, sebuah jaringan global raksasa yang bisa diakses secara cepat dan dalam jumlah yang banyak. Masih ingat atau pernah nonoton film Titanic? Selain memenangi banyak piala Oscar, film ini menarik berjuta-juta penonton di seluruh dunia. Titanic hanyalah satu dari sekian bnyak produk budaya yang sukses menarik perhatian lintas negara dan menjadi fenomena internasional. Hubunganya terletak pada serangkaian gagasan dan nilai yang disebarkan. Salah satu tema sentral film itu adalah adanya kemungkinan cinta romantis antara dua orang dari kelas dan tradisi yang berbeda. Meskipun gagasan semacam itu telah banyak diterima di dunia barat, di sebagian besar dunia yang lain atau bahkan di sebagian suku bangsa di Indonesia, hal itu masih dianggap tabu. Film Titanic dianggap berusaha menyebarkan nilai baru soal perkawinan dan hubungan antarpribadi.

Globalisasi memiliki konsekuensi-konsekuensi lain bagi dunia secra keseluruhan. Salah satunya adalah homogenitas atau kesamaan yang lebih besar dalam produk-produk yang dijual dan dibeli di seluruh dunia. Kesuksesan kapitalisme Barat dalam menjual produk-produknya bisa menghasilkan keseragaman di mana-mana. Dalam proses itu, ada ancaman serius terhadap keragaman budaya dunia. Apabila masyarakat dengan kebudayaannya tidak mampu menyesuaikan diri denagn perubahan akan terjadi maladjusment, akibatnya menimbulkan disintegrasi. Masyarakat mengalami shock social yaitu tekanan perubahan sosial. Menurut Prof. Soejono Soekanto, disintegrasi adalah proses pudarnya norma-norma dan nilai-nilai dalam masyarakat karena danya perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga masyarakat.

Perubahan-perubahan yang timbul dari majunya teknologi dan ilmu pengetahuan. Perubahan-perubahan tersebut berlangsung cepat dan terasa besar sekali pengaruhnya bagi berbagai sapek kehidupan. Persemukaaan kita dengan budaya asing melalui media cetak dan elektronik, sebgai akibat yang tak terhindarkan dari proses tersebut, telah memberi warna dan corak tersendiri pada sendi-sendi kehidupan budaya kita. Akibatnya, kita pun dihadapakan pada berbagai keniscayaan: masuknya nilai-nilai baru yang avant garde yang acap kali bertentangan dengan nilai lama yang konvensional; kecenderungan pragmatik, materialistik, dan hedonik yang menjadi dominan di tengah masyarakat yang makin konsumeristik yang ujung-ujungnya sampai pada pemiskinan spiritual dan sederet panjang fenomena lainnya.

Perubahan sosial-budaya sebgai bagian dari imperatif historis, ternyata juga menyebabkan munculnya pergeseran yang terus-menerus, pecah dan bercabangnya pandangan dunia (masyarakat dan sub-submasyarakat) dan dislokasi, termasuk robeknya berbagai format spiritual yang ada. Dalam kaitan ini, implementasi prinsip-prinsip etika dan kebenaran moral yang ditimba dari sumur-sumur peradaban dan yang berakar kultural jelas menjadi sesuatu yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Seni-budaya pun diharapkan mampu memaksimalkan perannya dalam konteks semacam itu.

Salah satu ciri globalisasi adalah bahwasannya kita kan saling terintegrasi, terkait satu sama lain sehingga tidak ada batasnya (Winarno, 2008:XV). Bagi bangsa atau orang yang kurang dalam pendidikannya, maka ia akan mudah silau terhadap ssuatu yang baru. Dalam era globalisasi ini barang baru seperti itu sangat niscaya datang bertubi-tubi tanpa dapat dibendung, memungkinkan tidak adanya pengendapan yang nampak hanya kulit luarnya saja. Kalau sudah silau akan kulit luar sebuah budaya, maka bukan tidak mungkin kita akan dihancurkan oleh globalissai. Tidak lagi dapat terlihat kandungan nilai yang baik, termasuk kandungan nilai budaya sendiri, sehingga dengan mudah kita cap sebgai budaya kampungan ketinggalan jaman. Dalam situasi seperti ini maka globalisasi sungguh mengerikan. Dalam situasi seperti ini sangat mungkin seseorang hanya merupakan makhluk biologis saja di dunia ini tanpa mempunyai identitas sebagi makhluk budaya.

Kemajuan teknologi yang mengikuti globalisasi memberikan berbagi dampak dalam berbgai sektor. Efek media, sebut saja televisi memberikan damapk bagi kehidupan seni tradisi di Indonesia. Memonton televisi seakan-akan merupakan sebuah “kewajiban” aktivitas rutin yang bukan saja dilakukan oleh orang dewasa, remaja dan anak-anak pun, waktu senggang mereka habiskan didepan layar televisi. Dan progam-progam yang ditawarkan dari stasiun-stasiun televisi tersebut justru program yang “gak tradisi banget”, hampir sebagian program yang ditayangkan merupakan acara musik, sinetron dan bahkan film-film luar dengan label Box Office Movie. Sebuah tawaran yang tentu menarik bagi penikmat televisi. Dengan berjubel program seperti itu darimana generasi penerus mengenal lebih jauh seni tradisi? Sekolah, orang tua? . bukan tidak mungkin jika seni tradisi semakin terpinggirkan. Contoh konkret, sekelompok anak-anak usia Sekolah Dasar bermain (masih di sekitar komplek kampus ISI) dengan fasihnya mereka menyanyikan dan menirukan lagu I heart you, yang dipopulerkan oleh grup Sm*sh, sebuah kelompok musik dengan gaya ala boy band korea, ketika saya dan teman saya bertanya kepada sekelompok anak tersebut, “adek kok pinter, siapa yang ngajarin?”, mereka menjawab “nonton di televisi kak.”, saya bertanya lagi pada salah satu anak “adik pinter nari dong, bisa nari apa ja?”, dengan mimik binggung anak itu menggeleng, “tahu tari merak, pangpung?”, dan kembali anak itu menggeleng. Sungguh ironis memang, apalagi itu terjadi di lingkungan ISI, yang notabene banyak orang belajar, berkecimpung di dunia seni khususnya tradisi. Memang hal tersebut bukan mutlak kesalahan media, namun setidaknya media turut memberi andil besar dalam sebuah proses pembelajaran. Jangan sampai dengan majunya teknologi, budaya yang menjadi tonggak ciri khas bangsa justru hilang bak ditelan bumi.

Budaya tradisional kita setidaknya dapat kita lihat melalui 9 unsurnya (Hastanto, 2009:passim) diantaranya dalah (1) bahasa daerah, (2) sistem keluarga dan adat, (3)pakaian adat, (4) rumah adat, (5) kesenian daerah, (6) permainan dan olahraga tradisional, (7) peralatan tradisional, (8) kuliner tradisional dan (9) kearifan lokal. dalam kita mengelola budaya tradisi pada era globalisasi, sebaiknya kita mengartikan kata mutiara : “berbuat lokal berfikir global” dengan tindakan konkret.

Peradaban dan kebudayaan Indonesia yang senantiasa mengalami segala macam tantangan jaman, sudah selayaknya kita harus menghadapi dengan semangat kearifan budaya yang diwujudkan dalam bentuk etika berbudi pekerti yang luhur. Pertama-tama yang penting kita anggap perlu dikedepankan adalah nilai-nilai budi pakerti yang muncul dalam semangat kearifan budaya ( local wisdom). Maju dan tumbuhnya suatu budaya juga terletak pada masyarakat pendukungnya, dengan semangat kearifan lokal kita tanamkan dan perkenalkan cinta budaya sedari dini.