Cari Blog Ini

Rabu, 16 Maret 2011

Budaya Tradisi Kita dalam Era Globalisasai (Tradisi menjawab Globalissai)

Globalisasi mengacu pada keseberagaman hubungan dan keterkaitan antara negara dan masyarakat yang membentuk sistem dunia modern. Globalisasi adalah proses di mana berbagai peristiwa, keputusan, dan kegiatan di belahan dunia yang satu dapat membawa konsekuensi penting bagi berbagai individu dan masyarakat di belahan dunia yang lain (A.G. McGrew,1992), menurut Martin Wolf dalam bukunya Globalisasi: Jalan Menuju Kesejahteraan, globalisasi adalah kata yang mengerikan dengan makna yang kabur, memperkaya semua yang tersentuhnya. Dalam kondisi tertentu bukan tidak mungkin globalisasi dapat “bersifat” demikian, tanpa adanya pengelolaan globalisasi, maka bukan tidak mungkin peradaban kita akan tergulung oleh gerak globalisasi tersebut.

Globalisasi bersifat multidimensional. Globalisasi sering digambarkan sebagai sebuah gejala ekonomi, terutama dengan munculnya begitu banyak perusahaan multinasional dan transnasional yang beroperasi melintasi batas-batas negara, mempengaruhi proses produksi global, dan penyebaran (distribusi) tenaga kerja internasional. Meskipun kekuatan ekonomi (economic forces) merupakan bagian yang integral dari globalisasi adalah keliru kalau kita beranggapan bahwa globalisasi itu selalu merupakan gejala ekonomis. Globalisasi bersama-sama mempengaruhi dan dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu politik, ekonomi, sosial dan budaya. Semua unsur itu digerakkan oleh perkembangan informasi dan teknologi komunikasi yang telah meningkatkan kecepatan dan lingkup interaksi antarmanusia di seluruh penjuru dunia.

Dampak kultural globalisasi mendapat banyak perhatian para ahli. Citra (image), gagasan, dan gaya hidup yang baru, dengan cepat menyebar ke seluruh produk dunia lebih dari sebelumnya. Perdagangan, teknologi informasi baru, dan imigrasi global telah memeberi kontribusi bagi penyebaran budaya pop tersebut melintasi batas negara.

Banyak orang percaya bahwa kita sekarang hidup dalam suatu tatanan informasi tunggal, sebuah jaringan global raksasa yang bisa diakses secara cepat dan dalam jumlah yang banyak. Masih ingat atau pernah nonoton film Titanic? Selain memenangi banyak piala Oscar, film ini menarik berjuta-juta penonton di seluruh dunia. Titanic hanyalah satu dari sekian bnyak produk budaya yang sukses menarik perhatian lintas negara dan menjadi fenomena internasional. Hubunganya terletak pada serangkaian gagasan dan nilai yang disebarkan. Salah satu tema sentral film itu adalah adanya kemungkinan cinta romantis antara dua orang dari kelas dan tradisi yang berbeda. Meskipun gagasan semacam itu telah banyak diterima di dunia barat, di sebagian besar dunia yang lain atau bahkan di sebagian suku bangsa di Indonesia, hal itu masih dianggap tabu. Film Titanic dianggap berusaha menyebarkan nilai baru soal perkawinan dan hubungan antarpribadi.

Globalisasi memiliki konsekuensi-konsekuensi lain bagi dunia secra keseluruhan. Salah satunya adalah homogenitas atau kesamaan yang lebih besar dalam produk-produk yang dijual dan dibeli di seluruh dunia. Kesuksesan kapitalisme Barat dalam menjual produk-produknya bisa menghasilkan keseragaman di mana-mana. Dalam proses itu, ada ancaman serius terhadap keragaman budaya dunia. Apabila masyarakat dengan kebudayaannya tidak mampu menyesuaikan diri denagn perubahan akan terjadi maladjusment, akibatnya menimbulkan disintegrasi. Masyarakat mengalami shock social yaitu tekanan perubahan sosial. Menurut Prof. Soejono Soekanto, disintegrasi adalah proses pudarnya norma-norma dan nilai-nilai dalam masyarakat karena danya perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga masyarakat.

Perubahan-perubahan yang timbul dari majunya teknologi dan ilmu pengetahuan. Perubahan-perubahan tersebut berlangsung cepat dan terasa besar sekali pengaruhnya bagi berbagai sapek kehidupan. Persemukaaan kita dengan budaya asing melalui media cetak dan elektronik, sebgai akibat yang tak terhindarkan dari proses tersebut, telah memberi warna dan corak tersendiri pada sendi-sendi kehidupan budaya kita. Akibatnya, kita pun dihadapakan pada berbagai keniscayaan: masuknya nilai-nilai baru yang avant garde yang acap kali bertentangan dengan nilai lama yang konvensional; kecenderungan pragmatik, materialistik, dan hedonik yang menjadi dominan di tengah masyarakat yang makin konsumeristik yang ujung-ujungnya sampai pada pemiskinan spiritual dan sederet panjang fenomena lainnya.

Perubahan sosial-budaya sebgai bagian dari imperatif historis, ternyata juga menyebabkan munculnya pergeseran yang terus-menerus, pecah dan bercabangnya pandangan dunia (masyarakat dan sub-submasyarakat) dan dislokasi, termasuk robeknya berbagai format spiritual yang ada. Dalam kaitan ini, implementasi prinsip-prinsip etika dan kebenaran moral yang ditimba dari sumur-sumur peradaban dan yang berakar kultural jelas menjadi sesuatu yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Seni-budaya pun diharapkan mampu memaksimalkan perannya dalam konteks semacam itu.

Salah satu ciri globalisasi adalah bahwasannya kita kan saling terintegrasi, terkait satu sama lain sehingga tidak ada batasnya (Winarno, 2008:XV). Bagi bangsa atau orang yang kurang dalam pendidikannya, maka ia akan mudah silau terhadap ssuatu yang baru. Dalam era globalisasi ini barang baru seperti itu sangat niscaya datang bertubi-tubi tanpa dapat dibendung, memungkinkan tidak adanya pengendapan yang nampak hanya kulit luarnya saja. Kalau sudah silau akan kulit luar sebuah budaya, maka bukan tidak mungkin kita akan dihancurkan oleh globalissai. Tidak lagi dapat terlihat kandungan nilai yang baik, termasuk kandungan nilai budaya sendiri, sehingga dengan mudah kita cap sebgai budaya kampungan ketinggalan jaman. Dalam situasi seperti ini maka globalisasi sungguh mengerikan. Dalam situasi seperti ini sangat mungkin seseorang hanya merupakan makhluk biologis saja di dunia ini tanpa mempunyai identitas sebagi makhluk budaya.

Kemajuan teknologi yang mengikuti globalisasi memberikan berbagi dampak dalam berbgai sektor. Efek media, sebut saja televisi memberikan damapk bagi kehidupan seni tradisi di Indonesia. Memonton televisi seakan-akan merupakan sebuah “kewajiban” aktivitas rutin yang bukan saja dilakukan oleh orang dewasa, remaja dan anak-anak pun, waktu senggang mereka habiskan didepan layar televisi. Dan progam-progam yang ditawarkan dari stasiun-stasiun televisi tersebut justru program yang “gak tradisi banget”, hampir sebagian program yang ditayangkan merupakan acara musik, sinetron dan bahkan film-film luar dengan label Box Office Movie. Sebuah tawaran yang tentu menarik bagi penikmat televisi. Dengan berjubel program seperti itu darimana generasi penerus mengenal lebih jauh seni tradisi? Sekolah, orang tua? . bukan tidak mungkin jika seni tradisi semakin terpinggirkan. Contoh konkret, sekelompok anak-anak usia Sekolah Dasar bermain (masih di sekitar komplek kampus ISI) dengan fasihnya mereka menyanyikan dan menirukan lagu I heart you, yang dipopulerkan oleh grup Sm*sh, sebuah kelompok musik dengan gaya ala boy band korea, ketika saya dan teman saya bertanya kepada sekelompok anak tersebut, “adek kok pinter, siapa yang ngajarin?”, mereka menjawab “nonton di televisi kak.”, saya bertanya lagi pada salah satu anak “adik pinter nari dong, bisa nari apa ja?”, dengan mimik binggung anak itu menggeleng, “tahu tari merak, pangpung?”, dan kembali anak itu menggeleng. Sungguh ironis memang, apalagi itu terjadi di lingkungan ISI, yang notabene banyak orang belajar, berkecimpung di dunia seni khususnya tradisi. Memang hal tersebut bukan mutlak kesalahan media, namun setidaknya media turut memberi andil besar dalam sebuah proses pembelajaran. Jangan sampai dengan majunya teknologi, budaya yang menjadi tonggak ciri khas bangsa justru hilang bak ditelan bumi.

Budaya tradisional kita setidaknya dapat kita lihat melalui 9 unsurnya (Hastanto, 2009:passim) diantaranya dalah (1) bahasa daerah, (2) sistem keluarga dan adat, (3)pakaian adat, (4) rumah adat, (5) kesenian daerah, (6) permainan dan olahraga tradisional, (7) peralatan tradisional, (8) kuliner tradisional dan (9) kearifan lokal. dalam kita mengelola budaya tradisi pada era globalisasi, sebaiknya kita mengartikan kata mutiara : “berbuat lokal berfikir global” dengan tindakan konkret.

Peradaban dan kebudayaan Indonesia yang senantiasa mengalami segala macam tantangan jaman, sudah selayaknya kita harus menghadapi dengan semangat kearifan budaya yang diwujudkan dalam bentuk etika berbudi pekerti yang luhur. Pertama-tama yang penting kita anggap perlu dikedepankan adalah nilai-nilai budi pakerti yang muncul dalam semangat kearifan budaya ( local wisdom). Maju dan tumbuhnya suatu budaya juga terletak pada masyarakat pendukungnya, dengan semangat kearifan lokal kita tanamkan dan perkenalkan cinta budaya sedari dini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar